CONTOH MAKALAH USHUL FIQH ' PENGERTIAN DHARURAT//
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap orang dalam hidupnya pasti tidak ingin tertimpa
bahaya atau kesusahan. Hal ini membuat kebanyakan manusia selalu berpikir
pragmatis dan praktis, berupaya memperoleh kebahagiaan dan menghindari
bahaya-bahaya dalam kehidupannya. Makna yang terangkum dalam konsep kaidah
fiqiyyah yang berkaitan dengan hal tersebut adalah al-dhararu yuzalu
(kemadlorotan harus dihilangkan). Didalam makalah ini penulis akan membahas
tentang kaidah tersebut dan berbagai ketentuan didalamnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dharurot ?
2.
Apa dasar hukum qaidah
assasiyah ke 4?
3.
Apa saja masalah-masalah yang
terkait dengan qaidah assasiyah keempat?
4.
Apa macam dan penjelasan dari
cabang-cabang qaidah yang berkembang?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Dharurat
الضَّرَرُ
يُزَالُ
“
Kemadlorotan harus dihilangkan”
Al-Dhararu
berarti berbuat kerusakan kepada orang lain secara mutlak, mendatangkan
kerusakan kepada orang lain dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama.
Sedangkan tindakan perusakan terhadap orang lain yang diizinkan oleh agama
seperti qishas, diyat, had dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan
tetapi untuk mewujudkan kemaslahatan.[1]
Sabda
Nabi SAW :
لَاضَرَرَ
وَلَاضِرَارُ
“Tidak
boleh membuat kemadlorotan pada diri sendiri dan membuat kemadlorotan pada
orang lain”
Menurut Ibnu Atsir dalam
kitabnya al-Nihayah, la dharara artinya adalah la yadhurru al-rajulu
al-rajulu (tidak diperbolehkan seseorang berbuat bahaya terhadap saudaranya
yang menyebabkan haknya menjadi berkurang). Sedangkan al-Dirara menurutnya
adalah la yujazihi ‘ala idharihi bi idkhalal-dharari ‘alaihi (tidak
diperbolehkan orang yang mendapat perlakuan bahaya dari orang lain membalasnya
dengan bahaya).[2]
Menurut Ibnu Hajar al-Haitami
dalam kitabnya Syarah al-Arba’in Nawawiyah mengatakan kata al-dhararu
artinya berbuat kerusakan kepada orang lain. Sedangkan kata al-dhiraru artinya berbuat kerusakan kepada orang lain
dengan tujuan pembalasan yang tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh
agama. Kata al-dhiraru yang fi’il madhinya ikut wazan فاعل berarti musyarakah (dua orang
melakukan satu pekerjaan).
Dari definisi diatas, bisa
disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan berbuat bahaya terhadap orang
lain dan membalasnya dengan perbuatan bahaya, jika mendapat perlakuan bahaya.[3]
B. Dasar Hukum Qaidah
Banyak ayat-ayat yang pada
intinya melarang berbuat atau menyebabkan bahaya, baik dalam bentuk yang besar
maupun kecil.
ولا
تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
“dan
janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk mendzalimi mereka”
Sedangkan hadits Nabi saw yang jalur periwayatannya dianggap
valid dan menjadi dasar dari qaidah ini adalah hadits yang diriwayatkan
oleh al-Hakim dari Abi Sa’id al-Hudri:
لَاضَرَرَ
وَلَاضِرَارُ من ضار ضاره الله ومن شاق شاق الله عليه
“Tidak
boleh berbuat dharar (bahaya) dan membalas bahaya kepada orang lain, bagi siapa
yang berbuat bahaya kepada orang lain maka Allah akan berbuat bahaya kepada
orang tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit orang lain, maka Allah akan
mempersulit dia”.[4]
C. Masalah-Masalah Terkait dengan Qaidah
Masalah-masalah hukum fiqih
yang tercakup dalam qaidah ini ada banyak, misalnya:
1. Didalam muamalat, mengembalikan barang yang
telah dibeli lantaran adanya cacat diperbolehkan. Demikian pula macam-macam
Khiyar dalam transaksi jual beli karena
terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati. Dasar
pertimbangan diberlakukannya ketentuan-ketentuan tersebut untuk menghindarkan
kemadlorotan yang merugikan pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
2. Pada bagian jinayat, agama menentukan hukuman
qishas, hudud, kafarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa
untuk menumpas pemberontak dan menindak para pelaku kriminalitas dan lain-lain.
3. Pada bagian munakahat, islam membolehkan
perceraian, yaitu didalam situasi dan kondisi kehidupan rumah tangga yang sudah
tidak teratasi agar tidak mengalami penderitaan terus menerus.[5]
D. Kaidah-Kaidah Hukum
1. الضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ المحظورات
“kemadlorotan-kemadlorotan
itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Atau
semakna dengan:
حرام مع
الضرورات ولاكراهة مع الحاجةلا
“tidak
ada hukum haram beserta dhorurot dan tidak ada hukum makruh bersama kebutuhan”
Kaidah ini berlaku bila dalam keadaan
sangat terpaksa. Seseorang diizinkan melakukan perbuatan yang dalam keadaan
biasa dilarang, karena apabila tidak dilakukan akan menimbulkan kemadlorotan
pada dirinya.
Contoh:
orang yang mengalami kelaparan, makanan yang ada hanya bangkai saja. bangkai
ini baginya halal dimakan.
2. للضرورة يقدر بقدرهابيح أما
“Apa
yang diperbolehkan karena adanya kemadlorotan diukur menurut kadar kemadlorotannya”
Yang membolehkan seseorang menempuh
jalan yang semula haram adalah karena kondisi yang memaksa. Manakala keadaannya
sudah normal, maka hukum akan kembali menurut statusnya.oleh sebab itu syara’
member batas dalam mempergunakan kemudahan karena darurat menurut ukuran
daruratnya untuk melepaskan diri dari bahaya.
Contoh: seorang
dokter laki-laki yang karena darurat harus mengobati sebagian anggota tubuh
seorang wanita , tidak diperbolehkan melebihi dari apa yang memang benar-benar
diperlukan.
3. ما جاز
لعذربطل بزواله
“Apa
yang diizinkan karena udzur, hilang keizinan itu sebab hilangnya udzur”
Contoh:
tayamum batal karena adanya air sebelum
masuk waktu shalat. [6]
4. الضرر
لايزال با لضرر
“Suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan
menimbulkan bahaya lain”
Maksudnya ialah sesuatu yang
berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain yang setingkat kadar
bahayanya ataupun yang lebih besar kadar bahayanya. Oleh sebab itu, untuk
menghilangkan suatu bahaya disyaratkan harus tidak dengan menimbulkan bahaya
yang lain, jika hal itu dimungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, maka bahaya
yang ditimbulkan harus diminimalisir sekecil mungkin.[7]
Contoh: tidak boleh memaksakan diri
meletakkan kayu batangan atau benda lain pada dinding rumah tetangga (tanpa
izin), karena perbuatan semacam ini bisa menghilangkan dharar pada
dirinya, akan tetapi menimbulkan dharar pada orang lain. Hal ini berarti
dharar masih tetap ada.[8]
5. الضرر
الأشد يزال با لضرر الأخف
“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan
bahaya yang lebih ringan”
Qaidah ini membatasi keumuman qaidah
sebelumnya. Suatu bahaya bisa saja dihilangkan dengan menimbulkan bahaya yang
lain, jika kadar bahaya yang ditimbulkannya tidak seimbang dan tidak lebih
besar dari pada bahaya yang dihilangkan. Seseorang yang hendak menghilangkan
suatu bahaya, harus memperhitungkan terlebih dahulu dampak yang akan
ditimbulkannya. Apabila dampaknya seimbang atau bahkan lebih besar dari bahaya
yang hendak dihilangkan, maka ia harus mengurungkan niatnya, namun apabila
dampak yang ditimbulkan lebih kecil, maka ia bebas meluruskan niatnya.[9]
Contoh:
apabila ada seorang wanita hamil meninggal, dan diketahui janin yang
dikandungnya masih hidup, maka boleh melakukan pembedahan terhadap perut mayit
tersebut untuk mengeluarkan janin yang ada didalamnya. Membedah mayit sama
halnya dengan merusak kehormatan si mayit dan itu merupakan dharar. Akan
tetapi membiarkan bayi didalam perut mayit adalah dharar yang lebih
besar karena masih ada harapan hidup, sedangkan ibu yang akan dibedah sudah
meninggal, maka harus dilakukan pembedahan (dharar al-akhaff) agar dharar
yang lebih besar dapat dihindari.[10]
6. ء
المفاسد اولى من جلب المصالح فإذا تعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبادر
”menolak
kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan, dan apabila
berlawanan antara mafsadah dan maslahah, didahulukan menolak yang mafsadah”
Apabila dalam suatu perkara terlihat
adanya manfaat atau maslahah, namun juga ada mafsadah atau kerusakan, maka
haruslah didahulukan menghilangkan mafsadah, karena dikhawatirkan mengakibatkan
kerusakan yang lebih besar.
Contoh:
diharamkannya berjudi dan minum-minuman keras walaupun keduanya ada
kemaslahatan namun bahaya kerusakannya lebih besar.
7. الضرر
الخص لدفع الضرر العاميحتمل
“Melakukan
bahaya yang khusus untuk menolak bahaya yang umum”
Syariat islam didatangkan untuk
tujuan melindungi manusia, baik menyangkut agama, jiwa, akal, keturuna maupun
harta bendanya. Segala sesuatu yang bisa menodai atau mereduksi eksistensi
salah satu dari kelima hal tersebut merupakan kejahatan (dharar) yang
wajib dihilangkan sebisa mungkin. Untuk merefleksikan tujuan-tujuan tersebut,
maka kejahatan yang bersifat umum harus ditolak, meskipun hal itu harus
dilakukan dengan cara menggunakan dharar yang bersifat khusus.[11]
Contoh: pencekalan terhadap dokter atau tabib
gadungan. Hukum pencekalan ini tentu dirasakan sangat berat bagi kedua orang
yang berprofesi sebagai pelayan jasa tersebut. Namun membiarkan orang-orang
yang tidak memiliki latar belakang kedokteran (medis) dan ketabiban menangani hal-hal
yang berhubungan dengan pengobatan adalah bahaya yang lebih besar, sebab bisa
mengancam keselamatan jiwa orang banyak. Demikian ini sama halnya dengan
menyerahkan urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Maka untuk melindungi
keselamatan jiwa masyarakat (hifz al-nafs), segala sesuatu yang bisa
mengancamnya harus ditolak.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dharurot secara bahasa Al-Dhararu berarti berbuat kerusakan
kepada orang lain secara mutlak, mendatangkan kerusakan kepada orang lain
dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama.
Adapun dasar hukum mengenai qaidah
assasiyah al-dhararu yuzalu adalah Surah Al Baqarah: 231
ولا
تمسكوهن ضرارا لتعتدوا
“dan
janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk mendzalimi mereka”.
[1] Ali Ahmad Al-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqiyyah, hlm. 252.
[2] Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharibi al-Hadits, Jilid III, hlm.
81.
[6] Drs. H. Abdul Mudjib, op. cit., hlm. 38.
[7] Dr. H. Toha Andiko, M. Ag., op. cit., hlm. 119.
[8] Ibid, hlm. 120.
[9] Dr. H. Toha Andiko, M. Ag., op. cit., hlm. 126.
[10] Ibid, hlm. 133.
[11] Ibid, hlm. 134.
[12] Dr. H. Toha Andiko, M. Ag., op. cit., hlm. 135.
Comments
Post a Comment