CONTOH MAKALAH ILMU KALAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Munculnya
berbagai macam golongan-golongan aliran pemikiran dalam Islam telah memberikan
warna tersendiri dalam agama Islam. Pemikiran-pemikiran ini muncul setelah
wafatnya Rosulullah. Ada beberapa factor yang menyebabkan munculnya berbagai
golongan dengan segala pemikiranya. Diantaranya adalah faktor poitik
sebagaimana yang telah terjadi pertentangan antara kelompok Ali dengan pengikut
Muawiyah, sehingga memunculkan golongan yang baru yaitu golongan khawarij. Lalu
muncullah golongan-golongan lain sebagai reaksi dari golongan satu pada
golingan yang lain.
Golongan-golongan
tersebut mempunyai pemikiran yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Ada yang masih dalam koridor al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi ada juga yang
menyimpang dari kedua sumber ajaran Islam tersebut. Ada yang berpegang pada
wahyu, dan ada pula yang menempatkan akal yang berlebihan sehingga keluar dari
wahyu. Dan ada juga yang menamakan dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah.
Sebagai
reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan
yang dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama
besar dalam Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali al-Asy’ari yang merupakan
pendiri aliran Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi sebagai pendiri aliran
Maturidiyah. Aliran Asy’ariah dan Maturidiyah inilah yang dipakai dalam
pembahasan ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah lahirnya
aliran Asy’ariyah?
2.
Bagaimana ajaran-ajaran
Asy’ariyah?
3.
Siapa saja Tokoh-tokoh
Asy’ariyah?
4.
Bagaimana sejarah lahirnya
aliran Maturidiah?
5.
Bagaimana ajaran-ajaran
Maturidiah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahirnya Aliran
Asy’ariyyah
Aliran ini dinisbatkan kepada
pendirinya yaitu Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Saalim bin Ismail bin
Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari.[1]
Dilahirkan di Kota Bashrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 324 H/935 M, keturunan
Abu Musa al-Asy’ari seorang sahabat dan perantara dalam sengketa antara Ali dan
Muawwiyah dalam peristiwa tahkim.[2]
Pada usia lebih dari 40 tahun, beliau hijrah ke kota Baghdad. Ayahnya
adalah seorang yang berfaham ahlussunah dan ahli hadits. Ayahnya wafat ketika
beliau masih kecil. Sebelum wafat ayahnya berwasiat kepada seorang sahabatnya
yang bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu al-Asy’ari
sepeninggal ayahnya menikah dengan tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Juba’i. Berkat
didikan ayah tirinya, al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Beliau
sering menggantikan al-Juba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah
dan juga banyak menulis buku yang membela aliran Mu’tazilah.[3]
Namun ketika menginjak usia 40 tahun, al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan
mendirikan aliran kalam sendiri.
Ada beberapa teori tentang latar
belakang atau alasan keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah yang telah dianutnya
selama puluhan tahun tersebut. Menurut sumber al-Subki dan Ibn Asakir,
al-Asy’ari mengaku pada suatu malam bermimpi Rasulullah SAW menghampirinya
seraya memerintahkan agar ia meninggalkan paham Mu’tazilah.[4]
Sumber lain mengatakan bahwa al-Asy’ari berdebat dengan gurunya Abu Ali
al-Juba’i mengenai konsep al-Shalah wa al-Aslah, dalam hubungannya
dengan nasib seseorang dewasa mukmin, dewasa kafir dan anak kecil diakhirat
kelak. Dalam perdebatan tersebut sang guru tidak dapat memberikan jawaban yang
memuaskan terhadap pertanyaan sang murid. Kemudian al-Asy’ari keluar
meninggalkan sang guru dan mendirikan aliran Asy’ariyyah.
Selain
dari dua teori yang telah disebutkan, ada analisis yang menyatakan bahwa pada
diri al-Asy’ari memang telah muncul keraguan terhadap ajaran-ajaran Mu’tazilah
yang selama ini dianutnya. Menurut Ahmad
Mahmud Subhi, perasaan ragu itu muncul dikarenakan al-Asy’ari adalah penganut
madzhab fikih Syafi’iah. Imam Syafi’I mempunyai pendapat kalam yang bertolak
belakang dengan pendapat-pendapat Mu’tazilah. Misalnya, al-Syafi’I berpendapat
bahwa al-Qur’an itu bukan makhluk, melainkan qadim. Demikian pula dengan
ru’yat Allah, menurut al-Syafi’I, Allah dapat dilihat diakhirat kelak.[5]
Terlepas dari benar tidaknya beberapa teori yang telah dikemukakan,
yang jelas al-Asy’ari keluar meninggalkan Mu’tazilah ketika golongan ini berada
dalam fase kemunduran dan kelemahan. Apapun sebab musabab dan motif keluarnya
al-Asy’ari dari Mu’tazilah, yang jelas beliau sangat berjasa telah memberikan
sistem pemikiran kalam yang bisa diterima oleh mayoritas umat Islam.[6]
Al-Asy’ari
mewariskan beberapa karyanya yang tersimpan rapid an lestari dari generasi ke
generasi. Karyanya yang terpenting adalah Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl
al-Ziagh wa al-Bida’, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, dan Maqalat
al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin.[7]
B.
Ajaran-Ajaran Asy’ariyyah
Al-Asy’ari sebenarnya tampil tidak
membawa sistem dan materi bahasan kalam yang baru, melainkan mengadopsi apa yang
diwariskan oleh Mu’tazilah. Sesuai dengan latar belakang untuk menentang dan
menyanggah paham Mu’tazilah, maka al-Asy’ari cukup membahas ulang tema-tema
kalam yang pernah dibahas aliran tersebut, dengan maksud mengemukakan argument
dan hasil pemikiran yang bertentengan, atau minimal berbeda.
1.
Tuhan dan sifat-Nya
Sebagai penentang
Mu’tazilah, al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Sifat-sifat
Tuhan itu tidak sama dengan Dzat-Nya , keduanya qadim. Jadi Tuhan
mempunyai Dzat, sifat dan perbuatan-perbuatan. Diantara sifat-sifat tersebut
Tuhan aalim, qaadir, murid ; Tuhan mengetahui dengan ‘Ilmu,
berkuasa dengan qodrat, berkehendak dengan iradah dan seterusnya.
Semua sifat-sifat wajib yang berjumlah dua puluh adalah sifat yang mutlak pada
diri Tuhan.[8]
Mustahil Allah mengetahui dengan Dzat-Nya, karena jika demikian Dzat-Nya adalah
pengetahuan dan Allah sendiri adalah pengetahuan. Menurut al-Asy’ari, Allah
bukan pengetahuan (‘ilmi) tetapi Yang Mengetahui (‘alim). Allah
mengetahui dengan pengetahuan (الله عالم بعلم) dan pengetahuanNya bukanlah Dzat-Nya. Demikian pula dengan
sifat-sifat seperti hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.[9]
2.
Kalam Allah
(al-Qur’an)
Al-Asy’ari membawa paham yang bertentangan
dengan paham
Mu’tazilah. Menurutnya, al-Qur’an bukan makhluk atau tidak diciptakan, melainkan qadim. untuk
memperkuat pendapatnya ini, al-Asy’ari mengemukakan argumen berupa firman
Allah:
إِنَّمَاقَوْلُنَالِشَيْئٍ
إِذَاأَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
“Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: kun (jadilah). Maka jadilah ia”. (QS. an-Nahl: 40)
Untuk suatu penciptaan diperlukan kata kun, dan
untuk terciptanya kata kun itu sendiri diperlukan pula kata kun yang
lain. Demikian seterusnya, sehingga terdapat deretan kata kun yang tidak
berkesudahan. Hal yang demikian jelas tidak mungkin dan oleh karenanya
al-Qur’an tidak mungkin diciptakan.[10]
3.
Melihat Allah (ru’yat Allah)
Al-Asy’ari yakin
bahwa Allah dapat dilihat diakhirat, tetapi tidak bisa digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat
terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana
Allah sendiri menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[11]
Beliau mendasarkan pada firman Allah:
وُجُوْهٌ
يَوْمَئِذٍنَاضِرَةٌ إِلى رَبِّهَانَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah
(orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka
melihat.”(QS. al-Qiyamah: 22-23)
4.
Perbuatan manusia
dan kekuasaan Allah
Al-Asy’ari memakai istilah
kasb (perolehan) untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan
kemauan dan kekuasaan Allah. Arti kasb menurutnya adalah sesuatu itu
terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, yang dengan demikian menjadi
perolehan bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu terjadi. Sesuatu itu
timbul dari al-muktasib (manusia yang mengupayakan) dengan perantara
daya yang diciptakan.[12]
Al-Asy’ari
berpendapat bahwa perbuatan diciptakan oleh Allah, bukan oleh manusia. Dengan
kata lain, perbuatan manusia adalah perbuatan Allah secara hakiki dan perbuatan
manusia secara majasi. Pendapatnya ini didasarkan pada firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَعْمَلُوْنَ
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.
ash-Shaffat: 96)[13]
Perbuatan manusia itu memerlukan dua daya, yaitu daya
Allah dan daya manusia, namun yang paling berpengaruh dan efektif adalah daya
Allah.[14]
5.
Keadilan
Allah
Mengenai
keadilan Allah, al-Asy’ari berpendapat, bahwa kepada Allah Yang Mahakuasa tidak
berlaku hukum wajib. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun karena
Allah adalah penguasa mutlak. Sebagai penguasa mutlak, seluruh perbuatan Allah
adalah baik dan adil, tidak ada yang zalim.
Menurut
al-Asy’ari, Allah tidak wajib menepati janji dan ancaman (al-wa’ad wa
al-wa’id) yang banyak ditegaskan dalam al-Qur’an. Karena seperti yang telah
dikemukakan, tidak ada hukum wajib yang boleh diberlakukan atas perbuatan
Allah. Sementara menurut Mu’tazilah, Allah wajib menepati janji dan ancaman
tersebut. Karena jika tidak, berarti Allah tidak adil atau zalim.[15]
6.
Kedudukan
orang yang berdosa
Al-Asy’ari
menolak ajaran al-Manzilat bain al-manzilatain Mu’tazilah. Menurutnya,
pelaku dosa besar tetap mukmin, karena pada dirinya masih ada keimanan.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan dari kufur, predikat bagi
seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, maka ia kafir.
Oleh karena itu, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kafir.[16]
7.
Akal dan
wahyu serta kriteria baik dan buruk
Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, namun mereka mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang
memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Dengan kata lain, Mu’tazilah
berangkat dari dalil aqli dan bila dipandang perlu, mencari dalil naqli sebagai
penguat. Adapun
al-Asy’ari berangkat dari dalil naqli kemudian mencari dalil aqli sebagai
penguat.
Sementara
dalam menentukan baik-buruk terdapat perbedaan, al-Asy’ari berpendapat bahwa
baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal.[17]
C. Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
Ada beberapa nama tokoh yang berjasa
mengembangkan dan menyebarluaskan pemikiran kalam Asy’ariyah, sehingga mampu
menembus wilayah dan lapisan masyarakat yang sangat luas. Diantara tokoh-tokoh
tersebut adalah:
1. Al-Baqillani
Nama
lengkapnya Muhammad Ibn al-Thayyib Ibn Muhammad Abu Bakar, tidak diketahui
kapan beliau dilahirkan, hanya diduga lahir dikota Basrah, dan meninggal di
Bagdad pada tanggal 21 Dzulqaidah tahun 403 H/1013 M, dimakamkan didekat makam
Ahmad bin Hambal. Beliau adalah tokoh penting pertama setelah al-Asy’ari.
2. Al-Juwaini
Tokoh
Asy’ariyah yang mempunyai pengaruh besar setelah al-Baqillani adalah al-Juwaini
yang terkenal dengan julukan Imam al-Haramain. Nama lengkapnya Abu
al-Ma’li Abd. al-Malik
Ibn Abi Muhammad Abdullah Ibn Yusuf al-Juwaini. Lahir di desa Juwain dan besar
didaerah Nisabur, Khurasan.
3. Al-Ghazali
Tokoh
Asy’ariyah yang mempunyai pengaruh terbesar dan paling popular di dunia Islam adalah
Abu Hamid al-Ghazali. Lahir tahun 450 H/1050 M di kota Thus, Khurasan.
D. Sejarah Aliran Maturidiyah
Sezaman
dengan aliran Asy’ariyah, di Samarkand lahir pula aliran Maturidiah, yang juga
bertujuan untuk menghadang dan menentang aliran Mu’tazilah. Pendiri aliran ini
adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Hanafi al-Mutakallim
al-Maturidi al-Samarkandi. Beliau dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil
didaerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang
disebut Uzbekiztan. Dilahirkan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Beliau
wafat pada tahun 333 H/944 M di Samarkand. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah
al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M.[18]
Beliau memperoleh pendidikan dari ulama-ulama masyhur dizamannya, antara lain
Syekh Abu Bakar Ahmad bin Ishak, Abu Nashr Ahmad bin Abbas, Nusain bin Yahya
al-Balakhi, Muhammad bin Muqotil al-Rozi, beliau semua merupakan murid Imam Abu
Hanifah. Al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya
banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah.
Salah
satu pengikut al-Maturidi yang berjasa dan berpengaruh mengembangkan pemikiran
kalam al-Maturidi adalah Abu Yusr bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim
al-Bazdawi (421-493 H) dari Bukhara. Pendidikannya dimulai dari ayahnya dan
ayahnya menerima ajaran dari neneknya, sedang nenek al-Bazdawi merupakan murid
al-Maturidi. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari
mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-573 H), pengarang buku al-‘Aqa
‘Idal-Nafasiah. [19]
Al-Bazdawi
tidak sepenuhnya sependapat dengan al-Maturidi, sehingga dengan perbedaan ini para
ahli ulama membedakan aliran Maturidiah kepada dua gologan dengan corak yang
berbeda. Pertama, golongan Samarkand yang berkiblat kepada paham
al-Maturidi sendiri dan kedua, golongan Bukhara yang menganut paham
al-Bazdawi. Perbedaan antara Maturidiah Samarkand dan Bukhara ini bukan
menyangkut masalah-masalah prinsip, melainkan sekedar berbeda kecenderungan.
Jika golongan Samarkand sebagian pendapatnya berbeda dengan Asy’ariyah dan
condong kepada Mu’tazilah, maka golongan Bukhara terlihat lebih dekat bahkan
sama dengan pendapat Asy’ariyah.[20]
E.
Ajaran-Ajaran Maturidiah
1.
Sifat-sifat
Tuhan
Maturidi
Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Sedangkan Maturidi
Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari
Tuhan.[21]
2. Al-Qur’an
Menurut
al-Maturidi al-Qur’an (kalam Allah) adalah sifat Tuhan, ia tidak diciptakan
tetapi bersifat qadim. Sebagai keterangan hal tersebut bahwa kalam Allah
adalah sifat Allah, sedangkan sifat Allah bukanlah Allah, tetapi juga tidak
terpisah dengan esensi Allah itu sendiri.
3. Melihat Tuhan diakhirat
Al-Maturidi sependapat dengan paham
Asy’ariyah bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia diakhirat nanti.
Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Allah kelak diakhirat dapat dilihat
dengan mata karena Allah mempunyai wujud walaupin immaterial. Namun melihat
Allah diakhirat tidak dalam bentuk (bila kaifa) karena keadaan diakhirat
tidak sama dengan keadaan didunia.[22]
4. Perbuatan manusia
Al-Maturidi
sependapat dengan golongan Mu’tazilah bahwa manusialah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, ia mempunyai faham
Qadariyah dan bukan faham Jabariya atau kasb al-Asy’ari.[23]
5. Janji dan ancaman
Al-Maturidi
berbeda dengan Asy’ariyah dan mirip dengan Mu’tazilah, berpendapat bahwa janji dan
ancaman Tuhan tidak boleh tidak, pasti terjadi kelak. Dalam hal ini, al-Maturidi tidak seperti
Mu’tazilah, tidak juga sampai pada pendapat mewajibkan Tuhan menepati janji dan
ancamanNya.[24]
6. Dosa besar
Al-Maturidi
sepaham dengan al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin,
dan soal dosa-dosa besar akan ditentukan Allah diakhirat kelak.
7. Peranan akal dan wahyu
Menurut
al-Maturidi, mengetahui Allah dan kewajiban mengetahui Allah dapat diketahui
oleh akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat al-Qr’an yang memerintahkan manusia agar menggunakan akalnya dalam
usaha memperoleh pengetahuan dan keimanan kepada Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang segala penciptaanNya. Orang yang tidak mau
menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti
meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat tersebut. Kemudian ia juga
menyatakan bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara baik dan buruk,
namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam
kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.[25]
BAB III
KESIMPULAN
Asy’ariyah dan Maturidiah lazim
digabung dalam satu nama ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Namun dalam pemahaman
umum, nama ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini lebih dominan menunjuk kepada
Asy’ariyah. Karena penganut aliran Asy’ariyah lebih banyak, nama Maturidiah
seakan tenggelam dan terwakili oleh Asy’ariyah.
Asy’ariyah dianut oleh mayoritas
umat yang bermadzhab fikih syafi’iyah, sedangkan Maturidiah dianut oleh
kebanyakan umat yang bermadzhab fikih Hanafiah.
Para ahli ulama membedakan aliran
Maturidiah kepada dua gologan dengan corak yang berbeda. Pertama, golongan
Samarkand yang berkiblat kepada paham al-Maturidi sendiri dan kedua, golongan
Bukhara yang menganut paham al-Bazdawi.
Comments
Post a Comment